Kucing dan Tahi Halal

Kondisi penat menanti buka puasa tak semalamanya membuat orang loyo dan malas-malasan. Di tangan santri masa penantian itu justru terasa renyah dan mengasyikan dengan sedikit kreatifitas dan keahlian bercanda yang khas.
Alkisah ada dua santri cerdas, dengan concern disiplin berbeda, sedang berbincang ringan di sebuah dapur belakang asrama. Santri pakar nahwu merasa heran, mengapa disiplin yang ia pelajari (nahwu) terlihat lebih fleksibel daripada disiplin yang dipelajari rekannya, ilmu fiqh, yang melihat sesuatu dalam sudut pandang serba saklek. Terjadilah dialog ringan seputar status hukum makanan dalam dua sudut pandang yang unik.

Nahwî : “Heran deh, kenapa kucing haram, ya? (Tanya Nahwi)
memancing pembicaraan)
Fâqih : “Sampean ini gimana? Jelas jelas, kucing punya taring
dan kuku tajam. Pasti haram lah!”
(Tanggap temannya dengan spontan)
Nahwî : “O, gitu ya!” (Sambil sedikit mengerutkan dahi).
“Lalu, bagaimana dengan Tahi? Kenapa ia haram?
Tahi kan nggak bertaring dan berkuku tajam.”
Fâqih : “Ya, karena tahi merupakan sesuatu yang najis.
Setiap yang najis itu haram!”
Nahwî : “Apa nggak ada cara lain supaya kucing dan tahi
menjadi halal?”
Fâqih : “Mana ada halal-haram direkayasa. Kucing tetep haram,
begitu juga dengan Tahi.Demikianlah yang saya baca
di kitab-kitab fiqih mu’tabarah.”
Nahwî : “Itu kan jalan pikiran kamu. Menurut ilmu nahwu yang
saya tekuni, semua hal bisa berubah tergantung ‘âmil
yang menyertainya. Itu kaidah.”
Fâqih : “Tapi itu kan nahwu? Padahal kita bicara hukum.
Nahwî : “Ah, sampean ini. Kalau disiplinnya berbeda,
sudut pandangnya juga berbeda. Begitu juga logikanya.
Dari kacamata nahwu, kenapa kucing dan tahi bisa haram?
Fâqih : “Mene ketehe…!?
Nahwî : “Dalam ilmu bahasa, KUCING mengikuti wazan fu‘ila.
Itu artinya kucing di-mabni majhulkan. Untuk menjadi
halal sebetulnya mudah saja: tinggal di-mabni ma‘lûmkan.
Jadi bacanya: KACANG.
Fâqih : “Trus gimana kalau Tahi dalam perspektif nahwû?”
Nahwî : “Sama mudahnya. Coba perhatikan harakat akhir
dari lafadz TAHI. Kasrah kan? Tinggal ubah saja
i’rab-nya biar harakatnya dhammah. Jadi TAHU, deh.
Fâqih : “Sontoloyo. Rujukan sampean Tafsir Jalan Lain, ya..?!!
Nahwî : “Hehehehe…. Enaknya makan kacang dan tahu….”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer